Sabtu, 07 Januari 2012

(Keluarga Islam) II

Konsep Ta’aruf & Pembentukan Keluarga Dalam Tinjauan Psikologi Islam

Pada dasarnya manusia tertarik pada lawan jenisnya karena perasaan ingin bersama, berkenalan atau saling menukar informasi, dsb. Kondisi ini biasanya muncul ketika manusia melihat dan memandang lawan jenisnya yang berbeda dengannya; misalnya, keadaan fisik yang ayu, molek, cantik atau gagah, ganteng dan tampan. Hasil pandangan mata itu, kemudian menjadi hayalan manusia dengan kesimpulan pikiran; “bila”, “andaikata”, “seandainya” aku bersama dia, kan dapat curhat, berinteraksi dan berkomunikasi, sepertinya cukup menyenangkan hidup ini.

Konteks inilah lambat laun yang dilandasi niat baik untuk “memiliki” secara fisik seseorang dalam kehidupan akan berubah kepada keadaan yang bersifat psikologis, yaitu suka dalam bentuk suasana hati yang mendalam, cinta dan kasih sayang hingga berkomitmen untuk membentuk keluarga. Ketertarikan manusia terhadap manusia lain (laki-laki atau perempuan) dalam realitas adalah hal yang lumrah karena manusia adalah makhluk yang keinginan (homo volens), begitu pandangan kaum psikoanalisis.

Di sisi lain, para ahli –utamanya psikolog sosial– menemukan adanya “sifat tertentu” dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tertarik kepada orang lain. Sifat tersebut biasanya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: pertama, faktor situasi, misalnya; kondisi geografis, lingkungan, budaya, bahasa, agama, dsb. Kedua, faktor kepribadian, seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, harga diri, selera, dsb. Namun, dari sejumlah variabel yang berlainan tersebut dalam aplikasi interaksi sosial dan lain kasus di kehidupan ini dengan mudah dilanggar oleh individu sebagai akibat dari; daya tarik fisik, kedekatan, kemiripan dan keuntungan yang didapatkan individu yang bersangkutan.

Sementara perspektif Islam, melihat ketertarikan manusia terhadap manusia lain dalam rangka mengaplikasikan konsep hablumminannas dalam realitas, sehingga dapat memakmurkan bumi ini sebagai wujud pengabdiannya kepada Allah SWT tidak terputus. Hal ini sesuai dengan gharizah fithriyyah (naluri) pada manusia, dimana antara lawan jenisnya saling butuh membutuhkan untuk menumpahkan rasa kasih sayang, dan sekaligus sebagai realisasi penyaluran kebutuhan biologisnya. Untuk mengarah kepada tujuan ini, maka manusia tertarik untuk mengenali lebih jauh orang lain sehingga merasa cocok dan puas dalam membentuk ikatan pernikahan. Karenanya selaras dengan konteks tersebut, tulisan ini hendak mendiskusikan konsep ta’aruf hingga pembentukan keluarga menurut analisis psikologi Islam.

Pemahaman mengenai istilah ta’aruf hanya dikenal dalam sistem pendidikan Islam, yaitu ta’akhrafa –ya’krifu–ta’aruf, yang artinya: mengenal, saling mengenal, hendak mengetahui atau melakukan pendekatan hubungan (Louis Ma’luf, 1986). Berpijak pada makna ini, maka konsep ta’aruf adalah suatu pendekatan hubungan yang dilakukan manusia untuk saling kenal mengenal (Mahmud Yunus, 1989). Konsep ta’aruf merupakan suatu proses perkenalan antara dua insan yang dibingkai dengan akhlak yang benar, yang di dalamnya ada aturan main yang melindungi kedua pihak dari pelanggaran berperilaku atau maksiat (Jundy/Majalah Izzah, No. 30/Th. 3, 19 Juli—18 Agustus 2002 ).

Bermuara pada pandangan ini, maka konsep ta’aruf dapat dimengerti sebagai konteks operasional islamis nan uptudate yang menggantikan kata “pacaran” dalam mengenal calon pasangan sebelum membentuk keluarga. Analogi konteks ini, merupakan suatu jalan yang ditempuh manusia dalam upaya saling kenal mengenal antara sama lain sebelum menikah. Kebermaknaan konsep ta’aruf dalam ajaran agama Islam diawali dengan usaha saling mengenal antar satu sama lain, meskipun berbeda bahasa, suku, dan bangsa. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an berbunyi:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujaraat: 13)

Sesuai dengan firman Allah SWT ini, sesungguhnya manusia dapat mengambil pelajaran yang berharga bahwa usaha dan dorongan untuk saling berinteraksi, berkomunikasi dan membentuk pergaulan diantara sesama adalah usaha konsep ta’aruf dalam berbagai dimensi pengertian, baik dalam memperkokoh ikatan persaudaraan antar manusia, membentuk tali silaturrahmi, memperbanyak sahabat maupun dalam membina hubungan erat untuk membentuk keluarga. Selain itu, penjelasan al-Qur’an dalam surat Al-Hujaraat ayat 13 tersebut, juga perintah agar manusia dapat merealisasikan konsepsi hablumminannas dipermukaan bumi ini.

Keadaan yang demikian memang sengaja diatur dan dikehendaki oleh Allah SWT, agar dengan cara tersebut keberlanjutan hidup dan kehidupan umat manusia tidak terputus ditelan zaman dan tidak punah di makan waktu sampai pada saat Yang Maha Kuasa Pencipta jagad raya ini menghendaki berakhirnya kehidupan ini (kiamat). Namun, bagaimana metode aplikasi konsep ta’aruf yang digariskan Islam, tentu saja melalui jalan yang benar dan lurus yang berlandaskan pada sikap hidup, perilaku dan tindakan yang baik dan mulia (akhlakul karimah).

Dengan cara ini kehidupan keluarga yang akan dibentuk dapat merefleksikan wujud keta’atan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Khusus terkait dengan usaha manusia untuk membentuk keluarga, aplikasi konsep ta’aruf akan sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan pribadi muslim sehingga kesimpulan akhir yang diambil masing-masing pihak dapat dijadikan key word dalam perjalanan kehidupan keluarga ke depan.

Sumarjati Arjoso (Sanusi, et.all, 1996), menggambarkan beberapa hal penting yang perlu diwacanakan dalam perkenalan melalui konsep ta’aruf sebelum mengambil keputusan untuk menikah, yaitu; (1) perkenalan tentang diri pribadi masing-masing, (2) mengenal keluarga calon pasangan, (3) mengenal seks (dalam artian kesehatan dan kesucian kehormatan) calon pasangan, (4) mengenal cita-cita kehidupan pasangan dan mengenal agama (keyakinan) yang dianut oleh calon pasangan, serta (5) mengenal adat istiadat dan kebudayaan calon pasangan.

Lebih jauh, Sumarjati Arjoso (Sanusi, et.all, 1996) memberi alasan bahwa topik-topik tersebut dimentalkan karena suatu perkawinan bukan semata-mata memadukan jiwa dan tubuh dua insan yang berbeda jenis saja dalam rangka menyalurkan kebutuhan biologis atau hidup bersama, namun juga menyangkut suatu rangkaian tali hubungan antara anggota keluarga besar dan jaringan yang lebih besar lagi, yakni masyarakat. Dalam bahasa berbeda, KH Rahmad Abdullah, menyatakan bahwa dengan saling kenal mengenal calon oleh masing-masing pasangan secara mendalam, maka pengertian, pengetahuan dan keputusan untuk menyatu dalam suatu ikatan suci (pernikahan) akan menjadi bermakna sebagai bagian dari ibadah untuk menjalankan perintah agama (Majalah Izzah, No. 30/Th. 3, 19 Juli—18 Agustus 2002).

Di sisi lain, perlu diketahui juga bahwa ta’aruf bukan satu-satunya harga mati bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan, namun konsep ta’aruf akan memberi alternatif bagi seseorang agar dapat mengenali dan mengetahui kepribadian, adat istiadat, latar belakang budaya, kondisi sosial ekonomi, tujuan pembentukan keluarga atau keadaan keluarga masing-masing pasangan sehingga keputusan final untuk menikah tidak menjadi beban mental di kemudian hari. Proses pengenalan yang diajarkan oleh ta’aruf tidak ada paksaan dan pemaksaan, yang ada adalah realitas dan kenyataan. Bila sesuai atau cocok dilanjutkan ke jenjang pernikahan, dan bila tidak merasa cocok tidak menjadi suatu hinaan yang menyebabkan pasangan merasa malu atau dipermalukan.

Dalam penerapannya, bagaimana konsep ta’aruf dilaksanakan untuk mencapai suau hasil yang bermakna dan bernilai ibadah? Secara historis dan praktik ta’aruf tidak memiliki aturan operasional yang disepakati bersama oleh para ulama dan masyarakat muslim, yang ada adalah bagaimana batasan-batasan esensial yang disepakati sehingga tidak menyalahi hukum agama dan hukum sosial. Dalam praktik ta’aruf yang sering terjadi di realitas masyarakat muslim memiliki banyak variasi model aplikasi (graduasi model ta’aruf), seperti perkenalan melalui sahabat, pengawasan orang tua atau orang kepercayaan keluarga pasangan, pertemuan sendiri tanpa disengaja, berkenalan melalui suatu kegiatan sosial, perjodohan, dan lain sebagainya.

Karenanya dengan aplikasi konsep ta’aruf yang benar sesuai anjuran Islam diharapkan manusia dapat menggapai suatu pengertian bahwa perkawinan adalah benar-benar suatu ikatan suci dalam mengembangkan kehidupan umat manusia dipermukaan bumi ini. Selain itu, juga akan memberi tawaran pada masing-masing calon untuk memahami, menilai, dan menganalisis secara objektif dan subjektif sehingga kesiapan untuk menerima pasangan menjadi pilihan yang tepat. Proses perkenalan yang dilakukan sebetulnya bertujuan untuk saling mengetahui sejauhmana kesungguhan niat masing-masing pihak untuk berkeluarga, mengenal kepribadian antar pasangan dan menjaga hubungan persaudaraan di antara sesama muslim. Karena itu, nilai-nilai ta’aruf yang berlandaskan pada konteks ajaran Islam akan membuka wacana dan wawasan baru bagi setiap pasangan bahwa perkawinan adalah bukanlah kehidupan sesaat, namun kehidupan yang penuh tanggung jawab selama hayat dikandung badan.


Urgensi Pembentukan Keluarga Muslim

Berkeluarga dalam islam merupakan sunatullah yang berlaku untuk semua makhluk, kecuali malaikat tentunya. Bahkan ditekankan bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah yang harus diikuti oleh ummat ini.

Ada 3 orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi SAW menanyakan ibadah Nabi SAW. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan (ibadahnya) tidak berarti (sangat sedikit). mereka berkata: “Dimaana posisi kami dari Nabi SAW, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.” Salah satu dari mereka berkata: “Saya akan Qiyamullail selama-lamanya.” Dan yang lain berkata: “Aku akan puasa selamanya.” Dan yang lain berkata: “aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.” Lalu datanglah Rasulullah seraya bersabda: “kalian yang bicara ini dan itu, demi Alah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari).

Faktor-faktornya, :

· Perintah Allah

Membentuk dan membangun keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan Allah. Hikmahnya tiada lain agar teralisir kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-Mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa:1)

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

· Membangun mas’uliah (rasa tanggung jawab) dalam diri seorang muslim

Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitas hidupnya hanya fokus kepada perbaikan diri. Mas’uliahnya terpusat pada ucapan, perbuatan dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Akan tetapi setelah membangun mahligai rumah tangga, ia tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya saja. Ia juga harus bertanggung jawab terhadap keluarganya, bagaimana mendidik dan memperbaiki isterinya agar menjadi wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya, bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani dan qur’ani.

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.”

“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada keluarganya dan aku paling baik bagi keluargaku.” (HR. Imam Al-Baihaqi)

“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Imam At-Tirmidzi)

· Langkah penting membangun masyarakat muslim

Keluarga muslim merupakan batu bata yang institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.

Dari Anas ra berkata : “Rasulullah memerintahkan kami ba’ah (mencari persiapan nikah) dan melarang membujang dengan larangan yang sesungguhnya seraya bersabda: “Nikahi wanita yang banyak anak dan yang banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap para nabi pada hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad)

· Mewujudkan keseimbangan hidup

Orang yang membujang dianggap belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi.

“Apabila seseorang menikah maka ia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam setengahnya.” (HR. Imam Al-Baihaqi)

Menikah juga menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran dan kenyamanan hati.

“Wahai para pemuda, barang siapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah is menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara faji (kemaluan). Barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya.” (HR. Imam Muslim)


Keluarga Dalam Islam


Keluarga merupakan sebuah pondasi dan institusi yang paling dicintai dalam Islam. Masyarakat terbentuk dari unit-unit yang lebih kecil dan keluarga merupakan unit yang paling kuno dan alami serta titik diawalinya kehidupan manusia. Keluarga adalah pusat perkumpulan dan poros untuk melestarikan tradisi-tradisi serta tempat untuk menyemai kasih sayang dan emosional. Unit ini ibarat landasan sebuah komunitas dan ketahanannya akan mendorong ketangguhan sebuah masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan sebuah bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.

Keluarga memiliki peran fundamental dalam menjaga bangsa-bangsa dari dekadensi dan kehancuran. Karena itu, undang-undang juga harus disusun untuk mempermudah terbentuknya keluarga, memelihara kesuciannya, dan memperkuat hubungan kekeluargaan berdasarkan hak-hak dan etika Islam. Dari segi psikologi, keluarga juga punya peranan penting dalam meredam emosi, mencegah depresi, dan memberi dampak-dampak psikis lain bagi seseorang. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya akan larut dalam kesedihan, diliputi rasa takut, bersikap emosi, dan kehilangan rasa tenang. Dari sini terlihat kontribusi positif keluarga dalam menjaga kesehatan mental dan memberi ketahanan terhadap tekanan-tekanan jiwa dan depresi.

Tulisan ini mencoba meneliti dan mengkaji kedudukan keluarga dalam kitab suci al-Quran dan riwayat. Kitab wahyu ini dalam berbagai ayatnya menyinggung sejumlah masalah seputar keluarga antara lain, prinsip kesucian keluarga dan prinsip pernikahan. Ini adalah bukti bahwa prinsip pernikahan memiliki berbagai aspek dan juga punya dampak multi dimensi.

Kedua Orang Tua : Poros Keluarga

Kedua orang tua sebagai poros keluarga mendapat perhatian dan perlakuan khusus dalam Islam. Al-Quran setelah memberi perintah menyembah Allah Swt dan larangan menyekutukan-Nya, juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.

Dalam surat An-Nisaa’ ayat 36, Allah Swt berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” Surat Al-An’am ayat 151 menyebutkan, “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” Sementara surat Al-Israa’ menyatakan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Seorang mufassir besar Islam, Allamah Thabathabai ketika menafsirkan ayat 151 surat Al-An’am dalam tafsir al-Mizan menulis, ayat ini menunjukkan bahwa durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa yang paling besar setelah menyekutukan Allah Swt, sebab kelestarian generasi umat manusia tergantung pada eksistensi keluarga yang dibangun atas dasar mawaddah dan rahmah. Dengan melemahnya pilar-pilar keluarga, masyarakat yang terdiri dari individu-individu tidak lagi memiliki kekerabatan di antara mereka dan juga hubungan kasih sayang. Pada akhirnya, masyarakat akan tercerai-berai dan kebahagiaan dunia dan akhirat mereka akan binasa.

Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as dalam Risalatul Huquqnya mengatakan, “Adapun hak seorang ibu atas engkau, ketahuilah bahwa ia telah mengandungmu saat tidak ada orang lain yang berbuat seperti itu, ia mempertaruhkan hidupnya demi engkau ketika tidak ada orang lain yang melakukan seperti itu, dan ia memuaskan dahaga seluruh anggota tubuhmu. Ia menutupi dirimu saat engkau tidak memiliki penutup, ia rela diterpa terik matahari sementara engkau terlindungi, ia melupakan tidurnya demi dirimu dan menghabiskan waktunya untukmu di tengah terik panas dan dingin yang menggigil. Dan engkau tidak punya kemampuan untuk berterimakasih kepadanya kecuali dengan pertolongan Tuhan. Sementara hak ayahmu atas engkau, ketahuilah bahwa ia adalah akar dan dasar keberadaanmu. Jika ia tiada, engkau pun tidak akan pernah ada.”

Dalam surat Ibrahim ayat 24-26, Allah Swt berfirman: “Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk pula, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”

Pernikahan, Mukaddimah Membangun Keluarga

Membangun keluarga merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan yang diawali dengan pernikahan. Pernikahan adalah hal mendasar dalam membentuk sebuah keluarga Islami. Tanpa pernikahan, mustahil sebuah keluarga akan mencapai kebahagiaan-kebahagiaan yang dijanjikan Islam. Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah Swt yang menyebarkan agama Islam di bumi ini, memuji institusi keluarga sebagai bagian dari sunah beliau. Dengan demikian, sebuah pernikahan harus betul-betul direncanakan dengan baik dan matang. Termasuk dalam hal ini adalah pemilihan pasangan hidup, yang bukan hanya sekedar atas pertimbangan kecantikan/ketampanan atau pekerjaan dan status sosial ekonominya, tetapi juga agama dan kualitas keluarga tersebut.

Pernikahan adalah sebuah sunnah Ilahi yang tidak mengalami perubahan. Dalam al-Quran, perkawinan tidak hanya diperuntukkan untuk manusia, tapi juga bagi seluruh makhluk hidup. Allah Swt berfirman: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan.” (QS: Adz-Dzaariyat).

Allamah Thabathabai dalam tafsir al-Mizan menuturkan, “Perkawinan merupakan bagian alamiah dari manusia dan juga seluruh binatang. Tradisi sosial ini terdapat di tengah seluruh bangsa dan akan selalu ada. Hal ini bukti atas dimensi fitrah perkawinan dan mengingat Islam sebagai agama fitrah, maka agama ini memberikan sakralitas kepada pernikahan.”

Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci untuk mencapai kebahagiaan dan melestarikan generasi manusia. Islam memberikan perhatian khusus kepada masalah ini dan menjadikannya sesuatu yang sakral. Sakralitas pernikahan tertuang dalam berbagai riwayat dan bermacam ungkapan antara lain:

1. Pernikahan adalah sunnah Rasul Saw. “Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.”

2. Keluarga merupakan landasan dan asas yang paling dicintai dalam Islam. Imam Ali Ridha as berkata: “Dalam Islam tidak dibangun sebuah landasan yang paling dicintai oleh Allah Swt selain pernikahan.”

3. Pernikahan akan menjaga agama seseorang. Imam Jakfar Shadiq as berkata: “Barangsiapa yang sudah melakukan pernikahan, maka ia telah menjaga setengah agamanya dan jagalah setengahnya lagi dengan ketaqwaan.”

4. Ada banyak keutamaan yang didapatkan oleh orang yang sudah menikah. Imam Jakfar Shadiq berkata: “Dua rakaat shalat yang didirikan oleh orang yang sudah menikah lebih utama dari 70 rakaat shalat orang yang belum berkeluarga.”

Selain riwayat yang mendorong seseorang untuk melakukan pernikahan dan membentuk rumah tangga, Islam juga menyinggung beberapa filosofi pernikahan yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

a. Pernikahan, kunci ketenangan dan kedamaian

Dalam al-Quran surat Al-A’raf ayat 189, Allah Swt berfirman: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa tenang.” Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari diri yang satu dan pernikahan sebagai kunci ketenangan. Dalam surat Ar-Ruum ayat 21, Allah Swt berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadnya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Pernikahan akan menghadirkan ketenangan, karena laki-laki dan perempuan adalah pelengkap dan pemberi rasa bahagia satu sama lain. Ia tidak akan sempurna tanpa kehadiran pasangannya dan setiap yang kekurangan akan terdorong untuk mencari kesempurnaan. Begitu juga setiap yang membutuhkan akan memiliki kecenderungan alamiah untuk memenuhinya. Oleh karena itu, wajar jika ada daya tarik yang kuat dan alamiah antara seseorang dengan pelengkapnya dan ia akan merasa damai jika sudah meraihnya.

Dalam pernikahan, manusia akan memperoleh ketenangan dan kedamaian jasmani dan ruhani serta ketenangan dan kedamaian individual dan sosial. Sementara stabilitas kehidupan seseorang akan terganggu dengan meninggalkan pernikahan dan tidak tersalurkannya kebutuhan biologis. Orang yang belum membentuk rumah tangga juga kurang begitu peduli dengan tanggung jawab sosial dan sering terlibat dalam tindakan kriminal. Namun, mereka yang sudah berumah tangga akan merasa lebih bertanggung jawab dan lebih percaya diri, seolah-olah mereka menemukan jati diri baru.

Setelah menyinggung masalah ketenangan, al-Quran memaparkan prinsip mawaddah dan rahmah. Pada dasarnya, unsur ini adalah perekat dan penyatu masyarakat. Mawaddah dan rahmah antara suami-istri akan menciptakan nuansa kedamaian dan ketenangan.

Ayatullah Syahid Murthadha Mutahhari mengatakan, “Tidak mengherankan jika sebagian orang tidak bisa membedakan antara syahwat dan kasih sayang. Mereka mengira bahwa hal yang merekatkan suami-istri hanya terbatas pada hawa nafsu dan syahwat. Mereka tidak mengetahui bahwa ada kecenderungan-kecenderungan lain dalam diri manusia selain sifat egoisme dan oportunis, yang justru menjadi sumber pengorbanan dan manifestasi kemanusiaan. Hal ini dalam al-Quran dinamakan mawaddah dan rahmah.”

Pada intinya, sumber ketertarikan suami-istri dan ketenangan suami di bawah pancaran kasih sayang istri adalah mawaddah dan rahmah yang diberikan Allah Swt kepada keduanya. Tentu saja mawaddah dan rahmah ini terpisah dari hawa nafsu yang juga dimiliki oleh binatang.

b. Menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia

Masalah penting dalam budaya Islam adalah menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia. Islam melarang segala sesuatu yang akan menjatuhkan harga diri dan kemuliaan seseorang. Dan sebaliknya, mengajurkan sesuatu yang menyebabkan terjaganya kemuliaan manusia. Dalam surat al-Baqarah ayat 187, Allah Swt berfirman: “Istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan engkau juga pakaian bagi mereka.” Suami-istri ibarat pakaian satu sama lain dan akan menutupinya dari segala hal yang menjatuhkan kehormatan dan harga diri. Mereka saling menjaga diri agar tidak terseret ke dalam lembah dosa.

Suami-istri harus saling menjaga rahasia dan menjadi hiasan bagi sesama. Pakaian selain berfungsi sebagai hiasan, juga penutup rahasia keluarga agar aman dari akses orang asing. Mereka juga dianjurkan untuk berupaya menyelesaikan problema-problema rumah tangga secara tertutup, karena al-Quran menilai hubungan rumah dan keluarga sebagai perjanjian yang kuat dan tidak boleh menodainya dengan berbagai alasan. “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS: An-Nisaa:21).

c. Pintu menuju keberkahan

Pada dasarnya, kebanyakan laki-laki dan perempuan menghindari menerima tanggung jawab pernikahan dengan bermacam alasan seperti, kemiskinan dan ketidakmampuan finansial. Namun, al-Quran secara jelas mengingatkan bahwa pintu menuju rezeki dan berkah adalah pernikahan. Dalam surat An-Nuur ayat 32, Allah Swt berfirman: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Ayat tersebut tidak hanya mengajak kedua orang tua untuk mempersiapkan mukaddimah pernikahan putra-putrinya, tapi juga menyeru siapa saja yang mampu untuk saling membantu. Jika ada kekhawatiran terkait masalah ekonomi, Allah Swt akan menganugerahkan karunia-Nya kepada mereka. Orang-orang yang masih sendiri kurang merasa bertanggung jawab dan tidak memanfaatkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh pendapatan halal. Akan tetapi setelah berumah tangga, mereka akan menjadi seorang pribadi sosial dan merasa bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Mereka akan memanfaatkan seluruh kapasitasnya dan mengambil inisiatif untuk mengatasi berbagai problema hidup.

Imam Jakfar Shadiq as berkata: “Barangsiapa yang meninggalkan perkawinan karena takut miskin, maka ia telah berburuk sangka kepada Allah Swt.” Dalam riwayat lain, Imam Shadiq as berkata: “Rezeki ada bersama istri dan anak-anak.” Selain bantuan materi, pertolongan ghaib Tuhan juga akan membantu orang-orang yang menikah demi menjaga kemuliaan dan kesuciannya.

d. Kelanjutan dan kelestarian generasi manusia

Dalam kitab Tauhid Mufaddhal, Imam Jakfar Shadiq as menganggap kebutuhan-kebutuhan yang didasari oleh syahwat sebagai faktor kelanjutan hidup manusia. Allah Swt telah menempatkan sebuah penggerak dalam struktur psikologi manusia, yang akan mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Imam Shadiq as berkata: “Renungkanlah aktivitas-aktivitas manusia mulai dari makan, tidur, dan menyalurkan kebutuhan biologis serta hal-hal lain yang sudah diatur. Sesungguhnya Allah Swt telah menempatkan kekuatan penggerak dalam diri manusia. Kekuatan itu akan mendorong mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.”

e. Kesehatan mental dan keterjagaan dari dosa

Kebutuhan biologis merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan pada estetika, kasih sayang dan cinta. Naluri kebinatangan akan membawa manfaat bagi manusia selama disalurkan secara benar, proposional, dan legal, namun akan tergolong sejenis penyakit jika bersikap berlebihan. Kini, para ilmuan menemukan berbagai jenis penyakit akibat menuruti keinginan hawa nafsu dan menyalurkannya dengan cara-cara yang tidak benar.

Islam mengadopsi dua cara untuk menjaga kesehatan mental seseorang. Jalan pertama adalah pernikahan. Sementara cara kedua adalah menerapkan batasan-batasan tertentu untuk mencegah pergaulan bebas, yang dapat meruntuhkan nilai-nilai dan menghancurkan sebuah bangsa.

Kesimpulan

Keluarga sebagai poros pencipta ketenangan dan kasih sayang, memiliki tempat istimewa dalam Islam. Orang tua dan keluarga punya peran dominan dalam rumah tangga untuk memberi bimbingan dan petunjuk kepada putra-putrinya. Problema keluarga mendapat perhatian berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti, sosiologi, psikologi, kriminologi dan ilmu pendidikan.

Kajian terhadap sejumlah ayat dan riwayat akan mengantarkan kita pada filosofi pernikahan antara lain, pernikahan, faktor ketenangan dan kedamaian, penjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia, pintu menuju keberkahan, jalan melestarikan generasi umat manusia, dan solusi menjaga kesehatan mental dan terhindar dari dosa.

Oleh karena itu, kegoncangan bangunan keluarga dan keruntuhan sistem luhur masyarakat harus dicegah dengan menjaga lingkungan privasi keluarga, mendorong pernikahan, mencegah pergaulan bebas, dan mempermudah pernikahan. Metode seperti ini akan melahirkan keluarga bahagia dan masyarakat yang sehat. Top of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar